Beranda | Artikel
Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 7): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah
Jumat, 17 November 2023

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Berdakwah dengan memilih kesempatan yang tepat [1]

Berdakwah yang hikmah itu bukan membatasi dakwah hanya dengan memanfaatkan jadwal berceramah di majelis taklim. Namun, kebijaksanaan dalam berdakwah itu menuntut sikap cerdas memanfaatkan peluang emas untuk menyisipkan pesan dakwah dalam dialog kesehariannya. Sehingga tanpa terasa, mad’u (objek dakwah) tercerahkan aspek diniyyah-nya dengan suasana dialog informalnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok utusan Allah dan da’i terbaik yang sangat cerdas dalam memilih kesempatan yang tepat dengan tetap menjaga jangan sampai berlebihan maupun kurang. Berikut ini teladan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memanfaatkan kesempatan untuk berdakwah:

Pertama: Kesempatan ketika melihat purnama untuk menjelaskan melihat Allah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua: Memerintahkan berlindung dari kejelekan ketika takut melihat bulan. (HR. Ahmad dan lainnya, sahih)

Ketiga: Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyaksikan kecintaan ibu pada anaknya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat: Memanfaatkan perkataan Sa’d bin ‘Ubadah untuk menjelaskan kecemburuan Allah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, tentunya seorang da’i harus menjaga agar tidak berlebihan (terlalu banyak) dalam memberi nasihat sehingga dikhawatirkan sang mad’u justru bosan atau malah tidak suka, namun jangan juga kurang (terlalu sedikit) dalam memanfaatkan kesempatan berdakwah.

Berdakwah dengan memilih materi dakwah (isi nasihat) yang tepat sesuai kondisi mad’u [2]

Dalam berdakwah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan perbedaan kondisi mad’u (objek dakwah), sehingga pandai memilihkan isi nasihat dan materi yang tepat untuk disampaikan kepadanya.

Berikut ini beberapa hadis yang mulia yang menunjukkan jawaban nasihat yang berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan penanya:

Hadis pertama:

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

يا رسول الله أي العمل أفضل؟

Wahai Rasulullah, apa amal saleh yang paling baik?

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصلاة على ميقاتها

Salat tepat waktu.

Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بر الوالدين

Berbakti kepada kedua orang tua.

Saya bertanya lagi, “Kemudian apa?”

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الجهاد في سبيل الله

Jihad di jalan Allah.

Lalu, saya tidak bertanya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya aku bertanya lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan melanjutkan jawabannya. (HR. Bukhari)

Hadis kedua:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata,

يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل، أفلا نجاهد؟

Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah sebaik-baik amal saleh, tidakkah kami diizinkan berjihad?

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لكن أفضل الجهاد حج مبرور

Akan tetapi, sebaik-baik jihad adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari)

Hadis ketiga:

Dari Ibnu Abdullah bin Bisr radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sudah banyak syariat Islam bagiku (sehingga aku tak mampu melakukan semuanya karena kelemahanku), maka beritahu aku amal ibadah yang menyebabkanku bisa istikamah dalam mengamalkannya.

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله

Senantiasalah lisanmu basah dengan zikrullah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, sahih)

Hadis keempat:

Dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku pun berkata, “Perintahkan kepadaku (untuk melakukan) suatu amal saleh yang menyebabkanku masuk surga.”

Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عليك بالصوم، فإنه لا عدل له

Berpuasalah! Karena tidak ada amalan yang sebanding (pahala dan keutamaannya) dengannya.”

Kemudian aku datang untuk kedua kalinya dan Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah!”(HR. Ahmad dan ibnu Khuzaimah, sahih)

Hadis kelima:

Ada sebuah hadis yang kandungannya secara ringkas sebagai berikut:

Mu’adz bin Jabal pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Lalu, dia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahu tentang suatu amal yang akan memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab,

تعبد الله ولا تشرك به شيئًا وتقيم الصلاة، وتؤتي الزكاة، وتصوم رمضان وتحج البيت

Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pintu-pintu kebaikan kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, yaitu:

الصوم جُنَّة، والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار، وصلاة الرجل في جوف الليل

Puasa adalah perisai. Dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Dan salat seseorang pada pertengahan malam.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan pokok perkara agama, tiang, dan puncaknya, yaitu:

رأس الأمر الإسلام وعموده الصلاة، وذروة سنامه الجهاد

Pokok dari perkara agama adalah Islam. Tiangnya adalah salat, sedangkan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, sahih)

Penjelasan:

Dalam kelima hadis yang mulia di atas, terdapat pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang berbeda-beda, namun hakikatnya inti pertanyaannya hanya satu, yaitu amal ibadah apa yang paling baik dan paling besar pahala serta keutamaannya. Namun, jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda, padahal inti pertanyaannya sama.

Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan rukun Islam, terkadang haji mabrur, terkadang zikrullah, terkadang puasa, dan terkadang salat tepat waktu, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah.

Jawaban-jawaban tersebut tidaklah saling bertentangan, bahkan gambaran dari puncak hikmah dan kesempurnaan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu seperti seorang dokter yang mengobati para pasien sesuai dengan kondisinya masing-masing. Dan keutamaan sebuah amal ibadah setelah ibadah yang wajib itu dipengaruhi waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya.

Contoh keafdalan amal saleh (setelah amalan yang fardhu ‘ain) berdasarkan kondisi pelakunya

Orang yang berbadan kuat dan memiliki kemampuan perang, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah jihad fi sabilillah. Sedangkan orang yang memiliki harta banyak, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah sedekah. Bagi wanita yang memiliki keterbatasan fisik dibanding pria dan mudah tersingkap auratnya saat melakukan aktifitas fisik yang keras, maka jihad yang paling afdal baginya adalah haji mabrur. Adapun seorang yang lanjut usia, sudah tidak mampu melakukan berbagai amal ibadah fisik, maka zikrullah (berdzikir mengingat Allah) adalah amal ibadah paling utama baginya. Bagi pemuda yang lagi kuat-kuatnya syahwatnya, maka amal saleh yang paling utama baginya adalah berpuasa guna menundukkan syahwatnya.

Intinya, bahwa keutamaan sebuah amal ibadah itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya waktu, tempat, orang, keadaan, serta faktor-faktor lainnya.

Kembali ke bagian 6: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah

Lanjut ke bagian 8: (Bersambung, insyaAllah)

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/89090-contoh-praktik-dakwah-dengan-hikmah-2.html